
KOMPAS.com – Sejumlah perusahaan teknologi seperti Microsoft dan Google berencana membangun data center baru yang ditenagai dengan energi nuklir.
Berbeda dari dua perusahaan tersebut, Relativity Space, perusahaan manufaktur kedirgantaraan Amerika Serikat, mencanangkan pembangunan data center di luar angkasa.
Ide ini muncul dari CEO Relativity Space, Eric Schmidt, yang tak lain merupakan CEO Google pada tahun 2001-2011.
Baca juga: AWS Tunda Ekspansi Data Center, Ikuti Langkah Microsoft
Menurut Schmidt, permintaan energi dari data center sudah sangat besar. Dia menjabarkan bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir Amerika Serikat rata-rata menghasilkan 1 gigawatt daya.
Namun, kini sejumlah perusahaan membangun pusat data yang ditaksir memerlukan daya sekitar 10 gigawatt. Jumlahnya diramal bertambah menjadi sekitar 29 gigawatt pada tahun 2027 hingga 67 gigawatt pada tahun 2030.
“Semua ini bersifat industrial dalam skala yang belum pernah saya lihat sebelumnya,” kata Schmidt saat menyampaikan pandangannya tentang masa depan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam sidang bersama Komite Energi dan Perdagangan AS pada April lalu.
Lebih lanjut, mantan bos Google ini menilai bahwa satu-satunya cara untuk memenuhi permintaan daya di tengah ledakan tren AI, yaitu dengan “memanen” energi matahari secara langsung di luar angkasa.
Hal itu juga menyiratkan bahwa data center Relativity Space yang dibangun di luar angkasa nanti ditenagai dengan matahari.
Baca juga: Microsoft Dikabarkan Tunda Proyek Data Center, Begini Nasib Cloud Region di Indonesia
Pernyataan Schmidt tersebut juga menegaskan bahwa alasan dirinya mengakuisisi saham mayoritas Relativity Space pada Maret 2025 adalah untuk membangun data center di luar angkasa.
Schmidt belum merinci bagaimana rencananya membangun pusat data di antariksa secara spesifik.
Dilansir dari Ars Technica, Jumat (9/5/2025), Relativity Space boleh jadi satu-satunya perusahaan antariksa yang tepat untuk membangun data center di luar angkasa berbiaya terjangkau.
Pasalnya, perusahaan penyedia layanan antariksa di AS yang memiliki roket besar dan memungkinkan kendali akses sendiri, relatif sedikit.
SpaceX dan Blue Origin contohnya, masing-masing dimiliki oleh miliarder Elon Musk dan Jeff Bezos. Dengan begitu, orang yang memiliki misi ke luar angkasa seperti Eric Schmidt akan memiliki akses yang terbatas bila memakai layanan dua perusahaan tadi.
Opsi lainnya yaitu roket Vulcan milik United Launch Alliance, harganya tergolong mahal. Sementara itu, wahana antariksa Neutron bikinan Rocket Lab yang akan segera dirilis terlalu kecil untuk ambisi Schmidt.
Baca juga: Tencent Cloud Bakal Tambah Data Center di Indonesia, Investasi Capai Rp 7,8 Triliun
Adapun Relativity Space mengembangkan roket bernama Terran R. Sebagian dari komponen wahana antariksa ini didesain dapat dipakai ulang.
Bila terealisasi, Terran R akan menjadi wahana peluncur hebat yang mampu meluncurkan 33,5 ton ke orbit rendah bumi, bila dipakai dalam mode sekali pakai. Namun, bila kendaraan antariksa ini diluncurkan dalam mode dipakai ulang (reusable) maka muatannya hanya sekitar 23,5 ton.
Demi mewujudkan misinya, Schmidt kini dilaporkan mencari mitra tambahan guna mendanai Relativity Space. Sebab, kekayaan Schmidt hanya sekitar 20 miliar dollar AS (sekitar Rp 330 triliun), lain dari Elon Musk dan Bezos yang tembus ratusan miliar dollar AS, sehingga bisa menunjang misi ambisiusnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
No responses yet