
KOMPAS.com – TikTok kembali menjadi sorotan regulator Eropa. Kali ini, perusahaan milik ByteDance itu didenda 530 juta euro atau sekitar Rp 9,8 triliun karena ketahuan mengirim data pengguna Eropa ke China.
Adapun denda ini dijatuhkan oleh Komisi Perlindungan Data Irlandia (The Irish Data Protection Commission/DPC).
Komisi ini bertugas untuk mengawasi seluruh aktivitas dan perlindungan data pengguna platform digital, khususnya di kawasan Uni Eropa.
Wakil Komisaris DPC, Graham Doyle, dalam sebuah pernyataannya pada Jumat (2/5/2025), mengatakan bahwa TikTok telah melakukan pelanggaran serius terhadap regulasi perlindungan data Uni Eropa (GDPR).
Baca juga: Bukti Bos Meta Mark Zuckerberg Ketar-ketir Lawan TikTok
Selain itu, pengiriman data pengguna di wilayah ekonomi Eropa (EEA) ke China yang dilakukan TikTok dinilai tidak memiliki tingkat perlindungan yang setara dengan standar perlindungan data yang dijamin oleh Uni Eropa.
“Transfer data pribadi TikTok ke China melanggar GDPR karena TikTok gagal memverifikasi, menjamin, dan menunjukkan bahwa data pribadi pengguna EEA, yang diakses dari jarak jauh oleh staf di China, diberikan tingkat perlindungan yang pada dasarnya setara dengan yang dijamin di UE,” tutur Graham Doyle.
TikTok juga disebut belum mampu menilai dampak dari undang-undang anti-terorisme, antispionase, dan hukum lain di China yang secara kebijakan berbeda dengan standar perlindungan data Uni Eropa.
“Sebagai akibat dari kegagalan TikTok untuk melakukan penilaian yang diperlukan, TikTok tidak menangani potensi akses oleh otoritas Tiongkok ke data pribadi EEA berdasarkan undang-undang antiterorisme, antispionase, dan undang-undang Tiongkok lainnya yang diidentifikasi oleh TikTok sebagai hal yang secara material menyimpang dari standar UE,” tambah Graham.
Beri informasi tidak sesuai
Selama investigasi oleh regulator Eropa, TikTok juga terbukti memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya.
Sebelumnya, perusahaan tersebut mengeklaim bahwa pihaknya sama sekali tidak pernah menyimpan data pengguna Eropa di server yang berlokasi di China.
Namun, dalam penyeledikannya kali ini, TikTok memberitahu regulator bahwa pada Februari 2025, mereka menemukan kalau ternyata sebagian data pengguna Eropa sempat tersimpan di server China tersebut.
Baca juga: Trump Tunda Pemblokiran TikTok di AS, Beri Waktu 75 Hari Lagi
Pengakuan TikTok ini jelas bertentangan dengan klaim mereka sebelumnya.
Perusahaan dinilai bohong karena telah memberikan informasi palsu kepada regulator.
DPC menanggapi masalah ketidaksesuaian informasi ini dengan sangat serius.
Doyle menyebut bahwa saat ini DPC sedang mempertimbangkan tindakan regulasi tambahan setelah berkonsultasi dengan otoritas perlindungan data Uni Eropa lainnya.
No responses yet