Uncategorized

Mendengarkan Hak Digital

Ilustrasi bisnis, digitalisasi bisnis.

Lihat Foto

PERNAHKAH kita sadari, digitalisasi Indonesia hari ini sering kali dirayakan dalam statistik dan dashboard. Padahal di saat sama, krisis yang bergiliran melanda negeri ini, semuanya adalah tentang manusia.

Penulis pernah membaca kisah Bu Warti, 64 tahun, seorang janda di desa dataran tinggi Wonosobo.

Suatu hari dia pernah terpaksa pulang dari puskesmas karena tidak tahu bagaimana membuka QR Code vaksin di ponselnya. Sebab, ponsel miliknya hanya bisa SMS. Petugas pun kebingungan karena sistem wajib diinput otomatis dari aplikasi.

“Padahal saya sudah vaksin tiga kali,” katanya, dengan nada bingung dan lelah.

Sementara itu, seorang bidan di desa terpencil di Maluku menyampaikan keluhannya saat pelaporan COVID-19 harus dilakukan harian melalui server pusat.

“Kalau sinyal tak ada, saya simpan dulu di kertas, baru saya input seminggu sekali di kota,” katanya.

Akurasi data bahkan nyawa menjadi taruhan. Cerita-cerita di atas adalah gambaran betapa teknologi belum menjangkau mereka yang paling membutuhkan di negeri ini.

Baca juga: Sejauh Mana Indonesia Mencapai Kedaulatan Digital?

Secara infrastruktur, sebanyak 13 persen desa di Indonesia belum terkoneksi internet. Desa-desa tersebut berada di daerah terpencil dan yang secara geografis sulit dijangkau, termasuk di bidang Kesehatan (Digitalmama.id, 2024).

Sebanyak 536 dari 6.497 desa di Aceh tak memiliki akses internet, menurut Dinas Komunikasi Informatika dan Persandian/Diskominfo Aceh.

Dari 536 desa tersebut, 387 desa di antaranya sudah terdapat sinyal G atau 2G, tetapi belum bisa mengakses internet. Sebanyak 149 desa lainnya dikatakan masuk kategori blankspot/tak ada sinyal dan internet (Cnnindonesia.com, 2022).

Maka, bayangkan bagaimana keadaan di desa-desa tersebut saat krisis terjadi? Misal, saat gempa bumi? Atau pada puncak gelombang Omicron tahun 2022, ketika aplikasi pelaporan tidak bisa digunakan karena tidak ada koneksi internet sama sekali.

Apakah ini kebetulan? Atau justru refleksi dari sentralisasi digital Indonesia yang relatif melupakan pinggiran?

Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan ‘akses internet’ sebagai kambing hitam gagalnya pelaporan data apapun dari daerah terpencil. Ini bukan semata teknis, melainkan juga soal politik distribusi teknologi.

Setali tiga uang, masyarakat urban tak steril dari tantangan sejenis. Banyak negara mengalami apa yang disebut sebagai, “normalisasi pengawasan digital”; Dari pelacakan kontak hingga pengawasan lokasi secara terus-menerus khususnya ketika negara dalam kondisi darurat.




Apakah Indonesia mengalami gejala ini juga?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *